JqhSRCdUrfr1KyxYuxtPdSuGcgp6mT2tPj27Nc05

Mengenal Marga Batak Islam dan Sejarah Masuknya Islam di Tanah Batak

Marga Batak Islam

Mengintip ke dalam kehidupan masyarakat Batak di Sumatera Utara setelah masuknya agama islam dan kristen, menjadi pembahasan kita kali ini. Marga marga batak islam semakin sering ditemui selain marga batak Kristen yang lebih dominan.

Salah satu kepercayaan asli yang dipeluk oleh suku Batak sebelum kedatangan Islam dan Kristen adalah Parmalim. Agama orang batak pertama ini meyakini tentang kepercayaan animisme yang mengakui kehadiran roh dalam setiap unsur alam.

Banyak mungkin belum menyadari, bahwa ketika kita berbicara tentang "suku Batak", itu tidak hanya mengacu pada suku Toba. Sebenarnya, Batak adalah rumpun suku yang meliputi Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola, dan Mandailing.

Namun, berbeda dengan Angkola dan Mandailing yang mayoritas berpindah ke Islam, suku-suku lainnya mengadopsi agama Kristen Protestan dan Katolik.

Marga Batak Islam dan Sejarahnya

Tentu saja, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana sejarah masuknya Islam di Tanah Batak?. Menelusuri catatan sejarah, kita akan menemukan bahwa Islam pertama kali memasuki wilayah Sumatera Utara melalui kota pelabuhan kuno, Barus, Tapanuli Tengah.

Ini merupakan awal dari penyebaran Islam yang dibawa oleh para ulama dari Yaman dan juga pedagang serta saudagar dari India. Namun, pada saat itu, Islam hanya menjangkau sebagian kecil Tanah Batak, terutama terpusat di sekitar Kota Barus.

Pergeseran besar terjadi sekitar tahun 1816 Masehi atau Syawal 1233 Hijriyah. Gelombang pertama penyebaran Islam di Tanah Batak dimulai pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19.

Pasukan Minangkabau, banyak menikahi perempuan dari wilayah Tapanuli bagian Selatan, dan membawa serta Islam ke tengah masyarakat Batak. Selama Perang Paderi, invasi Minangkabau ke Tanah Batak mendorong pengislaman besar-besaran di Mandailing dan Angkola.

Mari kita gali lebih dalam tentang bagaimana agama Islam menyusup ke dalam kehidupan masyarakat Batak melalui peran Kerajaan Aceh dan pergerakan Paderi.

Masuknya Agama Islam

Di tanah Karo serta Pakpak telah mengenal Islam melalui pengaruh Kerajaan Aceh. Sementara simalungun disebarkan oleh orang pesisir melayu sumatera bagian timur.

Pada abad 19, tanah Batak menjadi saksi peristiwa penting dalam sejarah ketika tentara Paderi memasuki wilayah tersebut. Invasi ini, dipimpin oleh Tuanku Rao, memainkan peran sentral dalam penyebaran agama Islam di daerah yang sebelumnya menganut keyakinan animisme.

Serbuan tentara Paderi ke tanah Batak dianggap sebagai titik awal penyebaran Islam secara luas di wilayah tersebut. Dengan kekuatan sekitar lima ribu pasukan berkuda, dipimpin oleh Tuanku Rao, mereka berhasil menaklukkan daerah Mandailing dan terus bergerak ke utara.

Pasukan Paderi tidak hanya menggunakan kekuatan militer, tetapi juga mengandalkan strategi diplomasi. Mereka merekrut penduduk setempat yang sudah memeluk Islam, memperkuat pasukan mereka dan membentuk basis di pasar Sipirok.

Kisah Perlawanan terhadap kaum Paderi

Puncak pertempuran terjadi ketika pasukan Paderi bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Sisingamangaraja X dan rakyatnya. 

Seorang pemimpin Batak yang saat itu menganut agama Parmalim dan animisme. Dalam pertempuran di Desa Butar, Sisingamangaraja X tewas, mengakhiri pemerintahannya yang singkat.

Meskipun terjadi perlawanan dari rakyat Batak, kekuatan pasukan Paderi terlalu besar. Perang ini meninggalkan dampak buruk, termasuk wabah penyakit kolera yang disebabkan oleh gelimpangan mayat-mayat di medan perang.

Diperkirakan lebih ratusan ribu mayat tergeletak di tanah Batak setelah pertempuran, menyebabkan banjir darah dan wabah penyakit kolera yang menghantui masyarakat. Wabah ini mengakibatkan kematian rakyat batak dalam jumlah besar.

Tetapi akibat wabah kolera yang belum ditemukan obatnya pada masa itu, mendorong pasukan Paderi untuk mundur dari pusat kerajaan Batak. Mereka akhirnya kembali ke Minangkabau untuk menghadapi ancaman Belanda.

Kematian Tuanku Rao dan Kedatangan Tuanku Tambusai

Marga Batak Islam

Dalam pertempuran di Air Bangis, Sumatera Barat, pada Januari 1833, Tuanku Rao, pemimpin pasukan Paderi, akhirnya meninggal dunia. Namun, cerita ini belum berakhir.

Pasukan Paderi lainnya, dipimpin oleh Tuanku Tambusai, datang ke Mandailing dengan pola pengislaman yang lebih lembut. Mereka membangun masjid pertama di Sipirok, menandai jejak awal penyebaran Islam dengan pendekatan yang berbeda.

Meskipun berasal dari Paderi, pola pengislaman Tuanku Tambusai lebih lembut dibandingkan Tuanku Rao. Kedua tokoh ini, berhasil menjadikan Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padanglawas, dan Padangsidimpuan sebagai daerah mayoritas Islam.

Meskipun demikian, jejak penyebaran Islam di Tanah Batak tidak merata. Anehnya, Sebagian besar rakyat batak tidak terpengaruh gempuran kaum paderi dan masih tetap bertahan dengan keyakinannya.

Profesor HM Ridwan Lubis menyebut fenomena ini sebagai "rantai yang terputus" dalam proses penyebaran Islam di wilayah tersebut.

Meskipun pengislaman di Tanah Batak tidak berhasil, Mayoritas orang batak dahulu memeluk kepercayaan Parmalim, yang melarang makan daging babi, anjing, dan darah. Agama asli batak ini masih tetap bertahan hingga saat ini.

Dampak Serangan Tentara Paderi meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Batak, ini menjadi kepedihan pertama yang mereka alami. Sementara itu, perang melawan penjajahan Belanda tahun 1877 menjadi kepedihan kedua dalam sejarah mereka.

Masuknya Agama Kristen

Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward, memulai perjalanan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.

Dalam dua minggu di pedalaman, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Perjalanan ini lah yang membuka jalan bagi penyebaran agama Kristen di wilayah tersebut.

Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda.

Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berkomunikasi dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.

Penyebaran agama oleh misionaris Jerman dimulai pada tahun 1861, diikuti oleh misi oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen pada tahun 1881. Terjemahan Kitab Perjanjian Baru mulai dikeluarkan ke dalam Bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869.

Kemudian disusul oleh terjemahan Kitab Perjanjian Lama pada tahun 1891 oleh P. H. Johannsen. Meskipun terjemahan tersebut dianggap kaku dan sulit dibaca, hal ini tetap menjadi langkah penting dalam penyebaran agama Kristen di Tanah Batak.

Misi Katolik di Tanah Batak dimulai dengan kedatangan Pastor Misionaris pertama, Pastor Sybrandus van Rossum, OFM. Cap, pada tanggal 5 Desember 1934.

Masyarakat Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, dan sebagian Angkola menyerap agama Kristen dengan cepat, menjadikannya sebagai identitas budaya pada awal abad ke-20.

Gereja pertama dibangun

Salah satu titik penting dalam perkembangan agama kristen di sana adalah pendirian Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Balige pada bulan September 1917.

Di era yang sama, sekolah perawat mulai memberikan pelatihan kepada bidan-bidan di daerah tersebut. Ini menandai awal dari upaya pendidikan dan pelayanan kesehatan yang didukung oleh gereja.

Pada akhir tahun 1920-an, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan, menambahkan warna baru dalam lanskap agama di Tanah Batak. Namun, dominasi Protestan dalam masyarakat Batak tidak selalu berlangsung mulus.

Meskipun telah menguasai daerah-daerah yang padat penduduk dan subur selama 73 tahun, adanya gerakan misi Katolik mengubah dinamika tersebut.

Penulis Sybrandus van Rossum dalam tulisannya yang berjudul “Matahari Terbit di Balige”, pada tahun 1935, jumlah orang Batak yang telah dibaptis dalam agama Protestan mencapai sekitar 450.000 orang.

Zending Protestan telah membangun lembaga pendidikan dan kesehatan yang kuat di wilayah tersebut, serta melatih kader-kader yang berperan penting dalam masyarakat dan pemerintahan. 

Jejak Marga Batak Islam di Sibolga

Batak Sibolga, atau dikenal juga sebagai Batak Pasisi, merupakan sebuah suku yang menghuni wilayah pegunungan Kota Sibolga, Tapanuli Tengah.

Mereka memiliki keterkaitan erat dengan suku-suku Batak lainnya seperti Toba, Silindung, dan Humbang, terutama yang berada di wilayah pesisir. Sejarah perjalanan suku ini begitu menarik, terutama dalam konteks perpindahan agama dan keberagaman marga.

Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi migrasi orang-orang Batak Toba ke wilayah pesisir sekitar Sibolga. Migrasi ini dimotivasi oleh kebutuhan perdagangan antara hasil pertanian dan hasil laut. Kedekatan mereka dengan suku Melayu dan Minangkabau turut memengaruhi arah perpindahan ini.

Salah satu perubahan signifikan dalam komunitas Batak Sibolga adalah peralihan agama. Meskipun awalnya menganut kepercayaan tradisional, banyak dari mereka kemudian memeluk agama Islam.

Kedekatan dengan budaya Minangkabau dan Melayu, yang mayoritas beragama Islam, memberikan pengaruh besar dalam proses ini.

Saat ini, penduduk Sibolga memiliki keberagaman agama yang mencolok. Islam menjadi mayoritas dengan persentase sebesar 51%, diikuti oleh Protestan (37%) Katolik (6%), dan Buddha (2.5%).

Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun mayoritas memeluk agama Islam, mereka tetap mempertahankan identitas marga Batak mereka.

Marga Batak islam di Sibolga

Beberapa marga Batak yang terkenal di Sibolga antara lain Pasaribu, Sitompul, siregar, Tanjung dan Pohan. Kehadiran marga-marga ini menjadi bagian penting dalam mempertahankan warisan budaya dan kekerabatan di tengah perkembangan zaman.

Marga batak Islam di Mandailing

Marga Batak Islam

Sejarah Islam di kalangan Batak Mandailing memiliki akar yang dalam, terutama pada abad ke-19. Pada masa itu, pengaruh kaum Padri dari Minangkabau sangat kuat di wilayah tersebut.

Sehingga suku Batak Mandailing mayoritas penduduknya menjadi penganut Agama Islam. Pemeluk agama Islam di antara Batak Mandailing dikenal sebagai yang paling taat, yang sebagian besar disebabkan oleh pengaruh kaum Padri.

Agama Islam mulai menyebar di wilayah Mandailing Natal, Padang Lawas, dan Tapanuli Utara berkat kedatangan orang-orang Minangkabau.

Keberhasilan mereka menginvasi tanah mandailing selain perdagangan, juga membawa agama Islam ke wilayah tersebut. Melalui invasi besar besaran itulah agama Islam pun berkembang pesat di kalangan Batak Mandailing.

Marga Batak islam terkenal di Mandailing

Batak Mandailing juga dikenal dengan beragam marga yang menjadi bagian integral dari masyarakat mereka. Beberapa marga terkenal di antaranya adalah:
  • Nasution: Marga yang sering kali dihubungkan dengan kekuatan intelektual dan kepemimpinan di kalangan Batak Mandailing.
  • Lintang: Marga yang dikenal dengan keberanian dan ketegasannya dalam menjaga tradisi dan adat istiadat Batak.
  • Parinduri: Marga yang memainkan peran penting dalam bidang ekonomi dan perdagangan di wilayah mereka.
  • Rangkutan: Marga yang memiliki jejak panjang dalam sejarah kebudayaan dan kesenian Batak Mandailing.
  • Pulungan: Marga yang sering kali diidentifikasi dengan bidang pendidikan dan kebudayaan di kalangan Batak Mandailing.
  • Lubis: Marga yang memiliki sejarah panjang dan berperan penting dalam perkembangan masyarakat Batak Mandailing.
  • Dll

Marga batak islam di Angkola

Batak Angkola, salah satu kelompok etnis yang berakar dari Tapanuli Selatan, Padangsidimpuan, Padang Lawas Utara, dan sebagian Mandailing Natal.

Meskipun mayoritas masyarakat Batak Angkola memeluk agama Islam, kekerabatan mereka dengan marga Batak Toba dan Batak Mandailing masih berhubungan erat.

Marga Batak islam Angkola yang Dikenal Publik

Siregar, Rambe, Harahap, Munthe, Daulay, Hasibuan, Pane, dan Batubara adalah beberapa nama marga Batak Angkola yang sering terdengar di telinga publik. Namun, di balik popularitas ini terkandung kekayaan sejarah dan identitas keluarga yang patut diselidiki lebih dalam.

Batak Angkola, Toba, karo, simalungun, pakpak dan Mandailing memiliki kesamaan bahasa. Namun ada perbedaan dalam pengucapan kosakata dan logat. Pengaruh campuran dari pihak luar menambah warna dan keunikan dalam interaksi mereka sehari-hari.

Kesimpulan  

Masyarakat Batak di Sumatera Utara hidup dalam keharmonisan meskipun berbeda keyakinan. Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Islam menjadi tiga agama yang dianut terbanyak hingga saat ini.

Sementara Parmalim dan animisme menjadi dua kepercayaan yang tetap dipegang. Kehidupan beragama yang damai dan saling menghormati telah menjadi ciri khas masyarakat Batak.

Dengan menggali lebih dalam tentang Marga Batak Islam, kita dapat memahami tentang sejarahnya. Meskipun Islam gagal tersebar secara luas di Tanah Batak, serta meninggalkan luka dan tragedi, cerita ini menjadi bagian tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah kehidupan bangso batak.

Posting Komentar